Di era digital saat ini, belajar tidak lagi hanya terjadi di ruang kelas. mahjong wins Media sosial telah menciptakan sebuah “sekolah paralel” di mana siapa saja bisa berbagi informasi, termasuk influencer. Mereka menjadi guru dadakan bagi jutaan pengikutnya, menyebarkan pengetahuan, opini, bahkan tips hidup sehari-hari. Fenomena ini memicu berbagai pertanyaan: apakah kehadiran influencer di media sosial membantu atau justru mengganggu proses belajar generasi muda? Sejauh mana pengaruh mereka dibandingkan dengan guru formal di sekolah?
Media Sosial: Ruang Belajar Baru Generasi Muda
Bagi generasi muda, terutama Generasi Z dan Alpha, media sosial bukan sekadar tempat hiburan. Platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube menjadi sumber informasi sehari-hari. Dalam hitungan menit, mereka bisa mendapatkan tips kesehatan, informasi sejarah, tutorial memasak, bahkan penjelasan konsep ilmiah yang mungkin tidak mereka dapatkan di sekolah.
Banyak influencer pendidikan bermunculan dan menyajikan konten edukatif dengan cara yang lebih santai dan menarik. Video singkat dengan animasi lucu, bahasa ringan, dan penyampaian cepat membuat proses belajar terasa lebih mudah diakses. Anak muda tidak lagi harus membuka buku tebal atau mengikuti pelajaran panjang untuk mendapatkan informasi.
Ketika Influencer Mengisi Celah Pendidikan Formal
Salah satu alasan influencer begitu digandrungi adalah karena mereka sering mengisi celah yang belum dipenuhi pendidikan formal. Topik-topik seperti literasi keuangan, kesehatan mental, pengembangan diri, atau isu sosial sering lebih banyak dibahas di media sosial dibandingkan di ruang kelas.
Di sisi lain, pendidikan formal sering terjebak dalam kurikulum yang kaku dan materi yang tidak selalu relevan dengan tantangan masa kini. Influencer hadir dengan pendekatan yang lebih segar, personal, dan relate dengan kehidupan sehari-hari anak muda.
Positifnya: Belajar Bisa Lebih Cepat, Mudah, dan Relate
Ada beberapa keuntungan dari fenomena sekolah paralel ini:
-
✅ Informasi Lebih Aksesibel: Siapa pun bisa belajar kapan saja dan di mana saja hanya dengan membuka ponsel.
-
✅ Penyampaian Menarik: Materi yang disajikan ringan, singkat, dan seringkali dikemas dengan humor.
-
✅ Mengisi Ruang yang Kosong: Topik-topik yang tidak diajarkan di sekolah bisa ditemukan dengan mudah di media sosial.
-
✅ Mendorong Minat Belajar: Banyak murid justru mulai tertarik dengan topik akademik setelah mengenalnya melalui konten influencer.
Negatifnya: Risiko Informasi Salah dan Kurangnya Kedalaman
Namun, sekolah paralel di media sosial juga menyimpan tantangan serius:
-
❌ Validitas Informasi Tidak Terjamin: Tidak semua influencer memiliki latar belakang akademis yang kredibel, sehingga ada risiko penyebaran informasi salah.
-
❌ Belajar Terlalu Dangkal: Konten yang hanya berdurasi 30 detik atau 1 menit tidak cukup untuk memahami suatu topik secara menyeluruh.
-
❌ Pengaruh Opini Pribadi: Seringkali, apa yang dibagikan lebih merupakan opini atau sudut pandang pribadi, bukan fakta ilmiah.
-
❌ Algoritma Mengarahkan Minat: Platform media sosial menggunakan algoritma yang memprioritaskan popularitas, bukan kualitas informasi.
Sekolah Formal vs Sekolah Paralel
Sekolah formal tetap menjadi tempat utama dalam proses pendidikan yang terstruktur, dengan kurikulum jelas dan proses penilaian yang ketat. Di sisi lain, sekolah paralel di media sosial lebih fleksibel, aktual, dan cepat mengikuti isu terkini.
Idealnya, keduanya tidak harus bersaing, melainkan saling melengkapi. Sekolah memberikan fondasi pengetahuan yang kokoh, sementara media sosial bisa menjadi ruang untuk memperluas wawasan, memperkaya sudut pandang, dan mempelajari topik-topik yang belum sempat dibahas di kelas.
Kesimpulan
Fenomena influencer sebagai guru dadakan adalah bagian tak terpisahkan dari zaman sekarang. Media sosial telah menciptakan “sekolah paralel” yang membawa informasi dengan cara yang lebih ringan dan mudah diakses. Namun, kehadiran influencer tidak dapat sepenuhnya menggantikan peran guru profesional yang memiliki tanggung jawab dan keahlian khusus dalam mendidik.
Generasi muda perlu dibekali kemampuan berpikir kritis agar bisa menyaring informasi yang mereka terima di dunia maya. Sementara sekolah formal juga bisa mulai belajar dari influencer: bagaimana membuat pembelajaran lebih menyenangkan, relevan, dan dekat dengan kehidupan nyata.